Sunday, April 12, 2009

Manusia Serba Tidak

Sebagian manusia memang makhluk serba tidak.
Kita tak bisa puas, tak bisa terima kalah.
Manusia tidak gampang melihat ke belakang, tidak rajin bikin rencana ke depan.
Kita tak rajin minta maaf, tak sungkan jegal belakang.
Manusia tidak boleh ngeliat yang lebih bagus, tidak terima ngantri di belakang.
Kita tak tahan dikasih cobaan, tak pernah brenti teriak ngeluh.
Manusia tidak bisa sekuat gunung, tidak pernah berkaca melihat lemahnya.

Dan ini mengingatkan saya kepada sebuah buku yang saya baca belum lama berselang. Buku yg menarik perhatian selain karena judul dan sub-judulnya, juga karena saya mendapatkan pertanyaan yang tak terduga, membuat jengah, tergugu kelu hilang kata.
Sepanjang membaca buku perasaan saya campur aduk: bete, marah, mahfum, jengkel, berusaha untuk mengerti, tanam simpati, korek empati. Semua perasaan ini tertuju kepada tokoh yang saya anggap adalah tokoh antagonis dari cerita: Seorang manusia muda diberkahi kesehatan dan rupa yang prima, bisa sekolah, punya teman dan keluarga.
Diawal dia menyibukkan diri berbagai aktivitas yang diyakininya bisa membawa kebaikan bagi semua.
Hampir di sepanjang cerita dia melakukan komunikasi dengan yang saya sebut tokoh protagonis dalam cerita: Komunikasi dalam bentuk aksi maupun dalam bentuk kata-kata--bersuara maupun cukup dalam sukma. Mereka dekat--mungkin lebih dekat dari pada antara saya dan Yang Serba Maha.
Tokoh antagonis dan tokoh protagonis muncul di setiap halaman cerita.
Memasuki babak kedua dari cerita, serbuan berat dia terima. Segala rencana dan persekongkolan yang sudah jadi tumpuannya, lenyap buyar digerus aparat.
Oleh kolega dan orang yang dianngap sebagai pembimbing, dia merasa tercampakkan dan dikhianati.
Cerita berlanjut dan dia mulai memandang heran kepada tokoh yang saya anggap protagonis dalam cerita tadi:
"Kemana kamu dikala aku tercampak?" Mau apa kamu ada di sana? tanyaku sementari jemari membalik halaman buku.
Lanjutan cerita semakin mengikis rasa simpati. Dia sibuk mencari kesana-kemari, sementara yang diperlukannya sudah jelas saya bisa melihatnya. Tidakkah dia juga bisa melihat? Tentu saja dia bisa. Dia toh pandai tak kurang akal.
Yang dicarinya selalu yang paling dekat, tapi kenapa dia harus merasa mencari selangkah lebih kedepan? Dia memilih merapat ke manusia yang lemah; dan ikutlah dia melemah. Dan apa yang dilakukannya? Keluh-kesah hingga serapah, serangan yang dia gulirkan ke tokoh yang saya anggap protagonis dari cerita.
Sebuah contoh yang bikin saya tutup hati: Serangan beruntun telah menerpa, teralamat ke salah satu orang yang dia paling hargai. Dalam gundahnya dia berjalan, dia melihat seorang kenalannya yang dia tahu adalah seorang dealer. Apa yang dipilih untuk dilakukannya? Mendatangi kenalannya itu dan terjun bebas ke dalamnya dunia.
Didekatinya orang yang dia tahu nanar dengan molek dan lezatnya masakan kamar tidur--lezat dirasa apapun kelaminnya. Dia mereguk dan minta direguk, dia nikmat tapi kembali menyumpah tidak terima.
Lemahkah dia? Ya.
Mengaku lemahkah dia? Dia menjerit dan dalam jeritannya ada keluhan, hujatan, cemoohan, hinaan. Dikemanakan semua logika, pengetahuan dari bangku sekolah sejak TK hingga PT yang diterimanya?
Mengaku lemahkan dia? Tidak.
Kenapa harus berlari ke yang lain dari jenisnya?
Untuk apa mengais-ngais selamat dari yang dia sendiri nikmat masyuk turut jerumus dan menjerumuskan?
Dan cuplikan Devil's Advocate membayang di pelupuk mata saya: Detik-detik akhir filem dimana Al Pacino's Devil diiringi seringainya berkata: "Vanity. That's gotta be my favorite sin."
Hidupnya berlanjut dengan keputusannya untuk perang melawan tokoh yang saya anggap protagonis dalam cerita. Ikrarnya adalah untuk untuk tidak mendekati tokoh yang saya anggap protagonis dalam cerita tapi 1001+ hujatan dan fitnahan terus dia lontarkan.
Lewat raganya dia bilang menghukumi dunia dan dirinya sendiri, sementara dia mengambil nikmat dan manfaat dari penghukuman diri ini; dan, tentu saja, fitnahan dan hujatan terus dia lontarkan.

Vanity is also OUR greatest sin.
Kita tidak bisa berhenti mengeluh tapi kita juga tidak berhenti sombong. Merasa punya disaat tiada. Merasa kekurangan disaat punya walaupun sedikit. Merasa lebih disaat punya jauh lebih sedikit.
Tidak pernah lepas pandangi orang lain; tidak pernah betah pandangi cermin hati.

Kita tentu saja termasuk saya.

Saya tidak mau memberitahu apa judul buku maupun siapa penulisnya sebab saya tidak merekomendasikan membaca buku ini. Membaca buku ini melelahkan karena isinya dipenuhi dengan serangan-serangan sumpah serapah, fitnahan dan hujatan walaupun tentu saja akhir cerita (setidaknya saya yakin seyakin-yakinnya) bisa disimpulkan dengan tokoh yang saya anggap protagonis dalam cerita mendapatkan kemenangan (dan saya juga yakin seyakin-yakinnya, kemenangan ini membuat tokoh yang saya anggap protagonis dalam cerita sedih).
Saya malah merekomendasikan membaca Crime and Punishment tulisan Fyodor Dostoyevsky:
Ada satu tokoh--Sonya, namanya--yang membuat saya jatuh cinta ketika membaca buku ini dimasa kuliah teknik komputer dulu (nggak nyambung ya...?). Dia hanya bekerja di dunia prostitusi.
Ada satu lagi tokoh--Dunya, namanya--yang membuat saya semakin dalam terjerumus cinta dalam dunia anak-anak: Begitu bersih, dan teramat terang. Dia hanya seorang anak yang menyayangi abangnya tanpa prakondisi.
Baca deh: Bagus, gila.